Kamis, 18 Agustus 2016

Asal Usul Perayaan Cioko / Ulambana


Setiap tahun pada bulan 7 tanggal 15 (Cit Gwe Cap Go) penanggalan Imlek, Vihara-vihara atau Kelenteng banyak mengadakan Upacara Ulambana. Orang-orang pada umumnya mengenalnya dengan nama Sembahyang Rebutan (Cioko). Perayaan Ulambana ini disebut juga sebagai Hari Raya Setan (Ghost Festival).

Namun sebutan yang sebenarnya Upacara Ulambana ini adalah upacara sembahyang leluhur. Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka.

Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.

Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.

Di daerah-daerah, propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.

Versi Tiongkok

Orang sering menyamakan antara sembahyang qiyue ban 七月半 yang berkaitan dengan GuiJie 鬼节 ( festival hantu ) atau sembahyang rebutan yang merupakan tradisi "kelenteng" dengan sembahyang ulambana versi Buddha. Hal ini ada benar dan ada salahnya, tergantung darimana kita menilainya. Tapi sepanjang yang saya tahu, tradisi penyebrangan roh itu tidak terjadi begitu saja, adanya pengaruh Buddhism (disamping Taoism ) yang kemudian berkembang menjadi Buddhis Mahayana Tiongkok yang menyerap budaya setempat juga yang nantinya akan memberikan pula warna bagi tradisi sembayang rebutan di
kelenteng.

Sembahyang pada bulan tujuh ini adalah untuk memberi kesempatan bagi para arwah dan roh-roh di neraka dilepaskan ke dunia untuk mendapatkan 'liburan' dan bebas dari alam sengsara atau kita katakan saja kembali ke tempat yang layak. Oleh karena itu pada momen tersebut, orang kelenteng mengadakan upacara untuk memberi makan mereka dan upacara ritual penyebrangan arwah. Hal ini ditujukan untuk mengembangkan welas asih tidak hanya kepada sesame manusia atau binatang tetapi juga kepada mahluk-makhluk yang tak terlihat.

Tradisi ini sebetulnya sudah dikenal semenjak jaman sejarah purba Tiongkok tapi waktu perayaan tidak selalu sama, tergantung keinginan penguasa atau orang yang ingin mengadakan upacara itu.

Dalam kitab Liji 礼记 disebutkan bahwa upacara ini disebut Fuli 复礼 sedangkan maksud Fu disini adalah memanggil roh orang yang meninggal atau disebut pula Zhao Hun 招魂 . Pada upacara ini, arwah orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur kita, diundang untuk kembali dan dihantar menuju ke tempat asal muasal leluhur tersebut berasal. Kitab Li Ji mengatakan bahwa tindakan ini adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan bakti.

Upacara ini berkembang dimasa dinasti Shang , dimana ritual ini nantinya akan dikaitkan dengan San Guan Da Di  三官大帝 ( penguasa tiga alam) : Penguasa langit yang dianggap memberi rejeki, penguasa bumi yang dianggap menebus dosa, dan penguasa air yang bertindak untuk mengatasi bencana.

Filosofi Tionghua yang berbasiskan YinYang percaya bahwa manusia hidup adalah bersifat Yang dan arwah-arwah adalah bersifat Yin. Akan tetapi arwah gentayangan atau roh-roh yang tidak memiliki keturunan untuk menyembahyanginya tidak akan kembali ke Yin murni, akan tetapi menderita di alam arwah dan bersifat Yin palsu.

Oleh karena itulah maka diadakan upacara ini, dimana pada pertengahan tahun dimana terjadi peralihan antara Yin dan Yang maka adalah suatu tempo dimana ada kesempatan agar roh-roh tersebut kembali dari dunia Yin masuk kembali ke dunia Yang untuk disembahyangi dan diseberangkan menuju alam Yin murni.

Penyeberangan itu sendiri sebenarnya adalah suatu pelimpahan jasa baik dari keturunan yang masih hidup kepada arwah leluhurnya. Jasa baik dari keturunan itu dilakukan antara lain dengan memberi makan dan ataupun bantuan lainnya kepada orang-orang kurang mampu yang tinggal disekitarnya. Oleh karena itu tidak heran, bahwa pada kesempatan acara tersebut maka di Indonesia ini pada khususnya ada kebiasaan untuk bagi-bagi beras atau makanan.

Ritual ini merupakan bagian dari ritual-ritual yang berkaitan dengan musim. Seperti kita kenal bahwa tradisi Tionghua merayakan ShangYuan 上元 (upacara capgomeh) , Zhong Yuan 中元 dan Xia Yuan 下元 Acara sembahyang rebutan ini sebetulnya adalah Zhong Yen Jie atau sering disebut GuiJie, masa peralihan dari semester awal tahun ke semester akhir tahun, dimana terjadinya perubahan Yang menjadi Yin.

Pada saat itu dipercaya bahwa dewa pintu neraka purba yaitu Shen shu 神荼 dan YuLu 郁垒 ( jangan dibaca ShenTu YuLei ), melepaskan roh-roh yang disiksa di alam bawah untuk masuk ke dunia Yang , dimana mereka memperoleh istirahat dan penghiburan, serta keringanan dosa melalui suatu upacara ZhaoHun atau sekarang sering disebut ChaoDu 超度. Perayaan ini biasanya dilakukan dalam periode 1 bulan tersebut, oleh karena itu di Singapura dan manca negara dikenal dengan Gui Jie / Ghost Month (bulan hantu).

Pada tahun sekitar 300 SM yaitu pada masa dinasti Jin, maka terjadi sinkretisme upacara ini dengan Buddhism, dimana berdasarkan kitab Buddha Mahayana Foshuo YuLanPen Jing 佛说盂兰盆经 ( Ulambana Sutra).  Ada sedikit perbedaan kepercayaan tentang konsep karma pada tradisi Buddhism Mahayana dengan Buddhism Theravada, dimana dalam Theravada karma hanyalah bisa ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi dalam Buddhis Mahayana maka orang lain, terutama keluarga, bisa melakukan suatu upaya untuk meringankan karma dari arwah leluhurnya yang telah meninggal dengan gaya bantuan para bodhisatva.

Konsep karma dalam Buddhism Mahayana ini berkaitan dengan konsep Taoism yaitu chenfu 承负, yaitu bahwa karma dari leluhur akan menurun kepada anak cucunya, spt pada ungkapan rakyat tionghua : "Leluhur berbuat kebajikan maka anak cucu akan makmur jaya".

Secara teknis, maka upacara dari sembahyang rebutan ini biasanya dipimpin oleh seorang Daoshi (Toosu) atau kalau tidak oleh bikkhu Mahayana Tiongkok. Ciri khas uparacara ChaoDu adalah adanya pemasangan Zhao Hun Fan 招魂幡 yaitu bendera pemanggil roh dan ada simbol-simbol tertentu didalamnya. Selain itu juga terkadang ada Nai He Qiao 奈何桥 yaitu upacara utk menyeberangi sebuah jembatan sebagai suatu simbol untuk menyeberangkan dari dunia fana ke dunia baka.

Dalam upacara tersebut juga diset suatu altar persembahan makanan- makanan yang disebut GuTai  孤台 yang nantinya dalam upacara dipersembahkan melalui suatu tradisi Songjing (pembacaan keng) yang biasanya adalah kitab yang dibacakan ada kaitannya dengan TaiYi Jiuku Tianzun, yaitu Tianzun Welas Asih yang memang bertugas untuk mengurusi para arwah gelandangan dan arwah gentayangan.

Beliau dengan kekuatan hati Welas Asih yang tiada tara senantiasa mengayomi para arwah tsb. Atau dalam cara Buddhism Nahayana Tiongkok dibacakan Amitabha Sutra dan Ulambana Sutra ( CMIIW). Saya pernah mengikuti upacara Ulambana versi Mahayana Tiongkok, dan ternyata memang ada bendera, patung kertas GuiWang atau TianShi, perahu kertas untuk menyebrangkan arwah dan jembatan kertas pula.

Kebiasaan atau tradisi lainnya yang khas serta mengandung makna filsafat serta membedakan dengan tradisi lentera pada saat YuanXiao atau CapGo me adalah adanya Fang He Deng 放河灯 yaitu tradisi melepas lentera terapung di sungai yang mengalir sebagai simbolisme bahwa roh tersebut diberi sinar terang untuk menemukan jalannya menuju sang Asal yg disimbolkan dengan samudera (semua sungai menuju ke lautan).

Prinsip pelepasan lentera ini berkaitan dengan prinsip YIN palsu ( maksudnya roh yang gentayangan ) melalui YANG ( disini adalah dunia manusia ) kemudian kembali ke YIN asli ( alam kematian sesungguhnya ). Karena filsafat itulah maka tradisi FULI atau ZhaoHun atau juga yang kita sebut ChaoDu harus melalui proses setan-setan atau roh-roh gentayangan dilepas melalui alam manusia atau alam YANG agar bisa kembali ke alam YIN.

Pada tradisi Capgome yang mana bersifat merayakan perayaan bersifat Yang atau positif, maka lentera digantung. Sedangkan pada perayaan ZhongYuan atau GuiJie itu bersifat negatif, maka lentera dilepas di sungai atau danau.

Versi Buddhis Mahayana

Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa sangka, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya : "Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu!".

Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.

Melihat usaha Maha Moggalana yang bersungguh hati ingin berbakti dan membalas budi orang tuanya, maka dengan penuh Maha Maitri Karuna (Welas Asih) dan Maha Prajna (Bijaksana), Buddha Sakyamuni memberikan petunjuk kepada siswanya agar ia memberikan dana paramita kepada Para Arya Sangha dan setelah itu memohon Arya Sangha mengadakan suatu upacara guna menolong meringankan penderitaan ibundanya.

Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.

Maha Moggalana merasa amat gembira dan dengan penuh rasa bakti segera melaksanakan petunjuk Gurunya. Ia mempersembahkan dana paramita dari hasil Pindapatta-nya kepada para Sangha, dan kemudian memohon para Arya Sangha mengadakan suatu upacara penyaluran jasa untuk menolong ibundanya.

Setelah menerima dana paramita dari Arahat Moggalana, para Arya Sangha kemudian mengadakan upacara dengan membaca mantra, dharani dan ayat-ayat kitab suci, yang mana semua jasa dan pahala dari upacara ini disalurkan kepada ibunda Arahat Moggalana dan juga kepada makhluk-makhluk lain di tiga alam sengsara.

Sewaktu upacara dilaksanakan, terjadilah berbagai keajaiban, api neraka menjadi padam, segala penderitaan berubah menjadi kegembiraan dan kedamaian, makhluk-makhluk di alam Neraka setelah menerima getaran suci hasil pembacaan dharani tersebut, terbebaslah mereka dari penderitaannya.

Ibunda Maha Moggalana segera tertolong dan tumimbal lahir di alam yang lebih baik, begitu pula makhluk-makhluk di tiga  alam sengsara lainnya, ikut menikmati hasil jasa dan pahala dari diadakannya upacara ini, sehingga merekapun dapat tumimbal lahir ke alam lain sesuai dengan kondisi karmanya.

Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.

Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.

Upacara Cio Ko atau ”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek bulan ke tujuh (Cit Gwee). Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.

Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.

Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang yang dicintai.

Semua makhluk turut bersuka cita atas peristiwa ini. Hyang Buddha Sakyamuni menamakan upacara ini dengan nama Upacara Ullambana, yaitu suatu upacara untuk menolong makhluk-makhluk yang karena karma buruknya tumimbal lahir dan menderita di 3 alam sengsara. Selanjutnya upacara ini dilakukan tiap tahun sampai sekarang. Demikianlah asal mula diadakannya Upacara Ullambana yang tetap diperingati setiap tahun sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

3 Cerita Pendek Zen Mengungkapkan Palajaran Terbesar.

Cerita Zen seringkali singkat, tapi penuh akal dan kebijaksanaan. Mereka adalah bagian besar dari apa yang membuat tradisi ini menarik dan ...